Studi Kasus Penggunaan Landasan Teori-Teori Public Relation
Oleh : Rania Nadhiva (165120201111046)
Postingan ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah teori Public Relations dan membantu mahasiswa yang ingin mempelajari
tentang contoh-contoh studi kasus berdasarkan penggolongan landasan teori-teori
Public Relations.
Kasus 1:
Badrun, mhs kom UB,
sedang kerja magang di Hotel Savanah (HS) Malang. Badrun mendapat tugas dari
Manajer PR HS untuk melakukan monitoring terhadap pemberitaan surat kabar.
Badrun diminta melakukan: (a) klipping opini pembaca yang dimuat di surat kabar
tentang HS; (b) analisis berita-berita surat kabar di rubrik seputar Malang,
untuk mengetahui tema-tema beritanya. Mendapat tugas itu, Badrun bertanya-tanya
dalam hati: “Untuk apa saya melakukan klipping? Untuk apa tema-tema pemberitaan
selama 3 bulan harus saya pantau?”
Bantulah si Badrun untuk menjawab pertanyaannya.
Gunakan landasan teoritis untuk argumen Anda.
Diskusi dan Penyelesaian:
Dalam kasus ini, Badrun dapat mengaitkan pertanyaannya
terhadap kegunaan menganalis dan memantau berita atau opini pembaca dengan
Teori Media Monitoring, yaitu mencari, mengumpulkan, dan menganalisa
berita-berita yang berkaitan dengan perusahaan di media massa. Kemudian,
infomasi tersebut dapat diteruskan kepada puncak manajemen dalam bentuk usulan
atau rekomendasi untuk dijadikan penilaian objektif dalam pengambilan
keputusan. Keberadaan media bagi perusahaan dapat diibaratkan sebagai dua sisi
mata uang. Di satu sisi, media dianggap sebagai teman akrab humas perusahaan,
namun di sisi lain, media juga dapat menjadi musuh utama perusahaan.
Atas dasar besarnya peran media terhadap
keberlangsungan suatu perusahaan atau organisasi, hal ini dapat pula dikaitkan
dengan salah satu teori yang paling dasar dalam dunia Public Relations, yakni
teori stakeholder yang memberi perhatian pada konsep tentang siapa yang
memiliki risiko dipengaruhi atau juga berpotensi memengaruhi aktivitas
organisasi. Dalam bukunya, Kriyantono (2014) mengutip pengertian stakeholder
sebagai “any human or nonhuman actor who influences and is influenced by an
organization” (Dempsey, 2009: 930).
Keberadaan media mempunyai pengaruh besar dalam membentuk
opini publik sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik nya.
Public Relations, seperti yang disampaikan Kriyantono (2015), “sebagai bidang
yang memunculkan istilah corporate communication,
yaitu fungsi Public Relations untuk mengelola komunikasi yang bertujuan
membangun reputasi". Manajer Public Relations HS memahami betul
bahwa sebagai perusahaan pelayanan jasa memiliki kewajiban mencari informasi
terkait citra dalam mengelola komunikasi dan reputasi perusahaan.
Hal ini juga dapat dikaitkan dengan Teori
Spiral of Silence yang
berhubungan dengan pandangan bahwa media mempunyai peran yang kuat dalam
membuat opini publik menjadi opini mayoritas, sehingga opini tersebut dalam
memengaruhi opini individu yang menerimanya. Individu seakan-akan sulit
menghindari diri dari terpaan media massa, mulai dari menonton televisi,
membaca koran, mendengarkan radio, hingga terpaan media online (Kriyantono,
2014). Oleh karena itulah, seorang praktisi Public Relation harus mampu untuk
memastikan agar opini-opini yang ada pada media cetak maupun media digital
dapat tersampaikan dalam jalan yang diinginkan oleh suatu perusahaan atau
organisasi tersebut.
Untuk mengetahui tema pemberitaan di surat kabar di rubrik
seputar Malang, perusahaa, khususnya manajer Public Relations Hotel HS,
berusaha mencari informasi tentang trend
yang berkembang di kalangan konsumen. Persaingan dalam perusahaan semakin
keras, maka perusahaan dituntut semakin luwes, perusahaan harus memiliki
keterampilan penyesuaian diri dengan trend-trend yang berkembang, persaingan
adalah bagian sistem panoptisme atau
sebagai manajemen pengawasan (Haryatmoko,2007). Oleh karena itu, dibutuhkan tim
untuk terus memonitoring atau memantau segala hal yang berhubungan langsung
dengan citra perusahaan. Dengan demikian, hotel HS secara tidak langsung
menyuruh Badrun untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan teori media
monitoring.
Apabila suatu perusahaan bersikap acuh dan tidak
teliti tentang pemberitaan apapun di media, maka seorang praktisi Public
Relations dalam perusahaan tersebut dinilai tidak dapat mengaplikasikan teori
integrasi informasi yang menjelaskan tentang bagaimana suatu informasi dapat
menjadi tolak ukur kepercayaan individu tertentu terhadap sebuah perusahaan,
baik dalam konteks negatif maupun positif. Terpaan tinggi dari media dapat
memperteguh kognisi dan kepercayaan publik, mulai dari pemberitaan yang ada
pada newsletter, web site, majalah, dan iklan-iklan di media. Kembali mengaitkan
dengan studi kasus yang disajikan sebelumnya, pertanyaann Badrun tentang apa
pentingnya menganalisa kliping opini dan pemberitaan media secara rutin,
akhirnya terjawab. Seorang praktisi Public Relations hendaknya tidak hanya
memantau (pandangan publik terhadap perusahaan) hanya ketika perusahaan sedang
mempunyai acara tertentu atau pun sedang menghadapi masalah, namun
memperhatikan secara teliti dan cermat setiap ‘gelintiran’ informasi yang
berkaitan dengan aktivitas perusahaan, karena kita tidak akan pernah tau apa
yang dapat terjadi atau dimunculkan oleh informasi muatan media yang awalnya
dianggap sebagai satu hal yang kecil.
Kasus 2:
Seorang wartawan melakukan wawancara dengan humas UB
tentang terjadinya suatu kebijakan. UB membuat kebijakan baru, yaitu melarang
mahasiswa merokok di area kampus UB. Saat ditanya wartawan, humas UB menjawab:
“Saya belum bisa memberikan jawaban sekarang.. Saya mesti meminta izin dulu ke
pimpinan”
Apakah jawaban yang disampaikan humas UB tersebut
efektif dalam konteks publisitas media? Kenapa? Berfungsi kah humas itu?
Berikan penjelasan teoritis.
Diskusi dan Penyelesaian:
Jawaban yang diberikan oleh Humas atau
Public Relations UB tersebut telah membuktikan tidak adanya koordinasi yang
jelas antara pimpinan dan Public Relations UB. Public Relations dan manajemen
komunikasi harusnya memiliki kaitan informasi yang jelas dan efektif. Murray
(2002) menganggap keduanya memiliki keterkaitan, setidaknya manajemen
komunikasi menjadi bagian atau bahkan dapat digunakan menyebut Public
Relations.
Apa
yang dikatakan oleh Humas UB tersebut dapat dikategorikan sebagai hal yang
fatal. Hal ini dapat dikaitkan dengan Teori
Integrasi Informasi. Masyarakat atau publik selalu menjadikan informasi
sebagai panduan atas pemilihan sikapnya. Public Relation merupakan fungsi
manajemen yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan komunikasi timbal balik
dengan memberikan informasi dan mempengaruhi opini publik sehingga dapat
terciptanya pengertian dan terbinanya hubungan yang harmonis antara organisasi
dan publiknya. Oleh karena itulah, informasi mempunyai peran yang sangat besar
terhadap keputusan seorang individu dalam bersikap.
Menurut
Heath (2005), teori integrasi informasi atau “information integration”
merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa individu membentuk sikapnya
dengan cara memadukan atau mengintegrasikan informasi atau hal-hal yang positif
maupun negatif (dikutip dari Kriyantono, 2014). Perpaduan hal atau informasi
positif dan negatif inilah yang akan menjadi landasan seseorang dalam bersikap.
Objek
sikap dapat berupa apa saja yang ditemui manusia, mulai dari benda konkret
maupun sesuatu yang bersifat abstrak. Sikap merupakan perpaduan antara aspek
afektif (suka-tidak suka), kognitif (tingkatan kepastian: tahu-tidak tahu dan
benar-tidak benar), dan konatif (kecenderungan dalam bertindak). (Kriyantono,
2014). Akumulasi informasi yang
diserap seseorang dapat menimbulkan berbagai macam dampak: (a) informasi dapat
mengubah derajat kepercayaan seseorang terhadap suatu objek; (b) informasi
dapat mengubah kredibilitas kepercayaan seseorang yang sudah dimiliki seseorang
, dan (c) informasi dapat menambah kepercayaan baru yang telah ada dalam
struktur sikap (Kriyantono, 2014). Apabila seseorang mendapatkan suatu
pengetahuan tertentu tentang suatu objek, maka bisa jadi pengetahuan tersebut
memberikan pengaruh atau bahkan mengubah sikapnya terhadap objek tersebut.
Dalam kasus tersebut, setelah mendapat ketidakjelasan
jawaban dari Public Relations UB akan pertanyaannya, wartawan tersebut bisa
jadi menyimpulkan penggambaran informasi yang tampak lewat perilaku Public
Relations UB yang menjawab pertanyaannya, dan akhirnya memilih sikap untuk
percaya bahwa “Public Relations UB ternyata tidak mempunyai pengetahuan yang
baik tentang perusahaannya” sehingga wartawan itu pun juga berpikir bahwa jalan
komunikasi di UB tidaklah baik.
Saya berpendapat bahwa, dalam kasus ini
Public Relations UB gagal menjalankan fungsinya sebagai corong informasi
manajemen, seperti fungsi PR sebagai menajemen yang disampaikan Kriyantono
(2015) di bidang komunikasi, yaitu menjaga komunikasi yang baik antara
organisasi dan publik; melayani kepentingan publik; dan menjaga perilaku dan
moralitas organisasi. Dalam konteks publisitas media, Public Relations UB gagal
membangun pemahaman bersama antar manajemen dan hubungannya dengan wartawan
tersebut maupun dalam membentuk goodwill dan
kerjasama media. Informasi seharusnya menjadi hal yang dapat mengurangi
ketidakpastian atau keraguan atas informasi tertentu, namun pada praktik kasus
ini, Public Relations UB malah semakin menimbulkan kerancuan informasi.
Selain teori Integrasi Informasi, studi
kasus ini juga erat hubungannya dengan teori Uncertainity Reduction,
yang menjelaskan tentang hubungan antara kejelasan informasi untuk mereduksi
ketidakpastian. Jika ketersdiaan informasi dinilai kurang dan tidak berjalan
dua arah, berdasarkan teori ini, publik akan cenderung menggunakan strategi
pasif dan aktif dalam mengurangi informasi daripada strategi bertanya langsung
ke organisasi. Publik akan mencari informasi pada pihak pihak ‘ketiga’ yang
sumber informasinya masih tidak jelas, bisa membuat semakin bingung, dan dapat
menciptakan rumor yang tidak baik.
Kasus 3:
Marmud adalah karyawan PT
Makmur Sekali (MS). Marmud dikenal memiliki prestasi bagus, produktivitas kerja
tinggih dan kreatif. Dia sering berkontribusi dalam meningkatkan penjualan
produk karena kemampuannya menawarkan produk dan mencari konsumen. Tetapi, di
sisi lain, Marmud dikenal juga sebagai trouble maker. Dia sering berulah,
seperti sering membolos, sering bertengkar dengan rekan kerja, lebih suka
bekerja sendiri daripada dengan tim. Tentu saja beberapa rekan kerja tidak
menyukainya.
Apa yang seharusnya dilakukan manajer
Makmur Sekali (MS) dalam menghadapi kasus ini?
Diskusi dan Penyelesaian:
Studi kasus yang ada di
perusahaan Makmur Sekali (MS) ini merupakan permasalahan internal perusahaan.
Permasalahan yang menimpa perusahaan MS terletak pada persoalan komunikasi yang
bisa jadi belum tuntas atau pun belum efektif. Diantara teori-teori komunikasi,
beberapa teori yang dapat menjelaskan bagaimana proses komunikasi bekerja. Di
satu sisi, perusahaan MS harus mampu memperbaiki pola komunikasi dan
mempertahankan Marmud karena dianggap berprestasi, namun disisi lain perusahaan
juga harus mengedepankan etika dalam artian lebih berani mengambil satu
tindakan tegas.
Dalam kasus ini, kita dapat mengaitkannya
dengan Teori Manajemen Konflik,
yakni adanya proses yang membatasi aspek-aspek negatif dari konflik sekaligus
meningkatkan aspek positif dari konflik. Tujuan dari teori menajemen konflik
ini adalah untuk meningkatkan pembelajran dan kelompok hasil, termasuk
efektifitas atau kinerja dalam pengaturan organisasi.
Collaboration – Assertive, co-operative (Kolaborasi – tegas, kgoperatif). Kolaborasi
adalah tentang asumsi bermaksud dan melihat hal-hal dari semua pihak secara
rinci (Ruliana,2014, h.217). Pada tahapan teori manajemen konflik, perusahaan
MS harus terlebih dahulu mengakui dan menerima bahwa Marmud adalah karyawan
yang memiliki prestasi bagus dan turut berkontribusi dalam penjualan produk.
Namun, perusahaan harus juga memiliki solusi alternatif terkait dikap
indisiplinernya demi kebutuhan dan kepentingan semua orang.
Setelah mengetahui keadaan yang ada antar
karyawan, manajer Public Relation dalam perusahaan MS hendaknya menggunakan
saluran informal untuk mendapatkan beberapa informasi tersebut, antara lain
melalui komunikasi antarpersonal dengan secara berkala mengajak bicara karyawan
dan mengunjungi karyawan di departemennya masing-masing. Konsep ini dikenal
sebagai managing by walking around. Selain itu, informasi ini dapat diperoleh
dari kotak opini atau menyediakan e-mail pribadi. Namun, tentu saja kerahasiaan
pengirim harus terjamin dan tidak diketahui pihak lain.
Teori ini juga dapat dijadikan sebagai
antisipasi atau tindakan preventif akan hal yang serupa, karena teori manajemen
konfik yang berkaitan dengan teori motivasi juga dapat mendorong terbentuknya
iklim komunikasi organisasi yang kondusif. Dalam konteks komunikasi sebagai
salah satu faktor kesehatan yang bisa membuat kepuasan akan lingkungan kerja,
perlu diciptakan adanya iklim terbuka, yang mendukung kreativitas kerja dan
saling percaya antar anggota organisasi. Public Relations dalam ha ini dapat
mendorong manajemen untuk melakukan kunjungan-kunjungan pada karyawan. Meskipun
sekedar mengucap ‘apa kabar’ karyawan akan merasa sangat diperhatikan dan
merasa dianggap sebagai teman, sehingga akan tercapai iklim komunikasi
organisasi yang efektif dan harmonis antar karyawan d perusahaan tersebut.
Kembali dikaitkan dengan perilaku Marmud
yang meresahkan karyawan lain, saya berpendapat bahwa sudah selayaknya
perusahaan memberi tindakan tegas demi kepentingan perusahaan dan karyawan.
Menghadapi konflik internal seperti Marmud harus segera diatasi sesegera
mungkin untuk menghindari konflik turunan yang akan berdampak negatif bagi
perusahaan. Perusahaan MS bisa saja mengalami sistem organisasi yang tidak
sehat, karena sistem komunikasi organisasi formal tidak berjalan baik.
Selain Teori Manajemen Konflik, Teori
Situational Crisis Communication juga dapat digunakan guna membantu praktisi
Public Relations sebagai manajer krisis dalam mengukur situasi krisis untuk
menguji tingkatan ancaman terhadap keberlangsungan organisasi atau perusahaan. Perilaku
Marmud yang meresahkan karyawan, dapat digolongkan menjadi krisis apabila terus
berlanjut dan menggangu kondidi publik internal perusahaan (karyawan). Strategi
respons dalam menghadapi krisis sangat dibutuhkan, karena dalam setiap krisis
yang ada publik menunggu tindakan dari organisasi atau perusahaan untuk
mendapatkan jawaban atas harapan situasi, atau hanya sekedar meminta kejelasan.
(Kriyantono, 2014).
Kasus 4:
-SDA tiba-tiba muncul dalam kampanye Prabowo saat
pilpres dan menyatakan secara terbuka mendukung Prabowo. Aksi SDA ini mendapat
protes dari sejumlah anggota partai, baik di Dewan pimpinan pusat maupun di
daerah. Ada yang menyebut aksi SDA sebagai pendapat pribadi dan tidak mewakili
partai.
-Saat peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi nama dua
professor, muncul berbagai reaksi, baik dari mahasiswa, staf, maupun dosen. Ada
yang mengatakan “lho darimana ide itu? Siapa yang memprakarsainya? Apa
dasasrnya? Wah biasanya nama gedung diambil dari mereka yang sudah berpulang,
hayo siapa yang berani menempati professor X?”
Jelaskan secara teoritis
tentang respon terhadap peristiwa di atas. Dimana kesalahannya?
Diskusi dan Penyelesaian:
Kasus SDA dalam kampanye Prabowo dan kasus peresmian Gedung
FISIP sebenarnya mempunyai kesamaan penyelesaian dalam beberapa poin. Masalah
yang sedang dihadapi oleh kedua pihak yang menjadi sasaran pertanyaan di benak
masyarakat (pihak Prabowo dan pihak FISIP) merupakan masalah yang masih
berhubungan dengan salah satu teori public relations, yakni teori Situatinal
Theory of Public yang seringkali digunakan praktisi public relations untuk
mengidentifikasi dan mengelompokkan publik berdasarkan persepsi, sikap, dan
perilaku terhadap organisasi, baik terhadap programnya, mapun ketika terjadi
situasi krisis (Kriyantono, 2014).
Dengan menguasai teori ini, seorang praktisi public
relations dapat lebih mengenali pengelompokan publik yang dia hadapi, salah
satunya, dalam kasus ini, publik yang bersifat aktif dalam menghadapi suatu
fenomena. Publik dalam kelompok ini lah yang nantinya akan lebib ditekankan
dalam asupan informasi lebih lanjut.
Berbagai reaksi muncul di kalangan
mahasiswa, staf, maupun dosen terkait peresmian Gedung FISIP A dan B. Reaksi
tersebut sebagai respon dari penamaan dua professor pada Gedung tersebut. Saya
meyakini bahwa, pihak akademis pasti memiliki pertimbangan-pertimbangan khusus
dalam memberikan penamaan pada sebuah Gedung di lingkungan kampus. Dalam
peristiwa ini, teori kausalitas sangat mungkin digunakan dalam menganalisis
peristiwa ini, teori kausalitas dibangun oleh hubungan antara suatu kejadian
(sebab) dan kejadian kedua (akibat atau dampak), yang mana kejadian kedua
dipahami sebagai konsekuensi dari yang pertama.
Peresmian Gedung FISIP A dan B menjadi
nama dua professor merupakan kejadian pertama (sebab) sehingga terjadi reaksi
protes di kalangan mahasiswa, staf, dan dosen. Peristiwa protes ini kemudian
menjadi kejadian kedua (akibat atau dampak). Dalam ilmu komunikasi, proses
tindakan dikatakan sebagai bentuk interaksi apabila dua pihak masing-masing
melakukan aksi dan reaksi. Tindakan komunikasi dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara baik secara verbal (dalam bentuk kata-kata baik lisan dan atau
tulisan) ataupun non verbal (tidak dalam bentuk kata-kata misalnya dalam
gestur, sikap, tingkah laku, gambar-gambar dan bentuk-bentuk lainnya yang
mengandung arti).
Kasus ini juga bisa diidentifikasi dengan
menggunakan Situational Theory of the Publics melalui
variabel problem recognition dan constraint recognition(Grunig & Hunt, 1984: 153;
Kriyantono, 2014, h. 158). Teori STP kemudian menerangkan korelasi antara variabel
perilaku komunikasi dan variabel persepdi situasional, seperti tingginya
tingkat problem recognition dan rendahnya tingkat constraint recognition, level of
involvement. Seseorang memilih untuk bersikap diam dan tidak
melibatkan diri meskipun dia menyadari akan isu yang terjadi (aware public).
Namun, situasi ini juga dapat dipandang sebagai contoh
kurangnya informasi yang diberikan dari atas ke bawah (downward communication),
yang juga menjadi contoh kurangnya trasnparansi tentang pemilihan nama gedung.
Seharusnya, apabil ingin menghindari hal yang serupa, Public Relations FISIP UB
hendaknya memberikan alasan atas pemilihan nama professor X sebagai nama
gedung.
Kasus 5:
PT Hidup Sejahtera adalah perusahaan dengan produk
asuransi jiwa. Perusahaan ini adalah perusahaan besar. Tetapi, ternyata masih
kalah dengan perusahaan Besar Sekali (BS) yang berada di sebelahnya. BS
bergerak di bidang jasa catering. BS sering mendapat liputan media.
Apa yang seharusnya
dilakukan perusahaan HS?
Diskusi dan Penyelesaian:
Dari permasalahan di atas, walaupun keadaannya
menyatakan bahwa perusahaan BS lebih baik (pada indikator tertentu) daripada
perusahaan HS, kedua perusahaan ini mempunyai bidang yang berbeda dalam
menjalankan roda-roda perusahaan. Maka dari itu saya berpikir, seharusnya
Public Relations di perusahaan HS dapat berpikir untuk melakukan suatu project
kolaborasi dengan perusahaan BS dan memanfaatkan image perusahaan BS.
Setelah menelaah fenomena yang tampak antar perusahaan
BS dan HS, praktisi public relations perusahaan BS, atau bahkan keduanya, dapat
menerapkan Teori Excellence yang berangkat dari pengembangan empat model public
relations (Grunig & Hunt, 1984) dan teori situatonal of the public (Grunig,
1979). Teori excelence lebih menekankan pada aspek negosiasi dan kompromi, dan
untuk mencapai kedua aspek ini, teori ini mensyaratkan agar organisasi atau
perusahaan mengubah perilakunya dan manajer public relations harus menjadi
bagian dari proses pengambilan keputusan dalam organisasi. Lebih detail lagi,
teori yang dapat diaplikasikan lebih menjurus pada teori two-way asymmetric yang dianggap sebagai teori positif
(deskriptif). Dijelaskan sebagai teori yang positif karena ia menjelaskan
fenomena, event, atau aktivitas yang benar-benar ada di masyarakat.
Sementara itu, selain sebagai teori poisitif, teori ini
juga disebut sebagai teori normatif, yaitu teori yang menyarankan bagaimana
seharusnya aktivitas public relations dipraktikkan secara lebih etis dan
efektif. Dengan mengajak publik dalam aktivitas komunikasi dua arah yang
dialogis melalui model two way symmetric, dapat dikatakan public relations
telah bertindak etis dalam menjalankan profesinya.
Tidak hanya dengan publik sasaran dari perusahaan,
komunikasi lewat model ini juga dapat diaplikasikan bahkan dengan rekan dari
perusahaan lain demi menjaga koordinasi dan keharmonisan usaha yang dijalankan
masing-masing perusahaan.
Dalam hal ini, perusahaan dapat menggunakan Teori
Agenda Building - Information Subsidies sebagai dasar untuk mendapatkan
publisitas media. Pihak perusahaan perlu melalukan analisis tertentu untuk
mengukur agenda publik dengan berbagai cara, seperti; melakukan survei khalayak
dengan menanyakan topik-yopik terkait perusahaan yang dianggap penting,
dikenal, dan dianggap menonjol; melakukan survei paired-comparison
(berpasangan-perbandingan) terkait dengan pertanyaan pembanding antara
perusahaan HS dan BS; dan melakukan eksperimen akan strategi yang hendak
diterapkan oleh perusahaan dan melihat apakah ada kesesuaian antara media
building dan information subsidies yang dilakukan
public relations?
Daftar Pustaka
Kriyantono, R
(2014). Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal : Aplikasi
Penelitian dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group.
Komentar
Posting Komentar